Pidato & Transkrip

Catatan untuk Pertumbuhan Hijau yang Inklusif

09 Juni 2015


Sri Mulyani Indrawati Indonesia Green Infrastructure Summit Jakarta, Indonesia

Sesuai yang Dipersiapkan untuk Penyampaian

Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, Hadirin yang mulia, Bapak dan Ibu sekalian,

Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk berada di sini hari ini, bersama dengan mitra dari pemerintah dan sektor swasta yang saya hormati.  Saya sangat percaya bahwa kemitraan yang baik antara pemerintah dan sektor swasta sangat penting bagi negara manapun, termasuk Indonesia, untuk mencapai tujuan pembangunan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan.

Karenanya, saya ingin berterima kasih telah mengundang Bank Dunia untuk bergabung dalam kemitraan ini. 

Kami di Bank Dunia memiliki dua tujuan: mengentaskan kemiskinan ekstrim pada tahun 2030 – yang berarti hanya 15 tahun dari sekarang. Dan mempromosikan kesejahteraan bersama - memastikan bahwa masyarakat dalam kelompok 40 persen terbawah turut menikmati manfaat dari kemajuan ekonomi.

Untuk mencapai tujuan-tujuan ambisius ini, sangat diperlukan pertumbuhan yang pesat. Adalah fakta bahwa selama 20 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi telah membantu hampir satu miliar orang bebas dari kemiskinan. Tetapi masih ada satu milyar orang yang bertahan hanya dengan $ 1,25 per hari atau kurang. Lebih dari 1,1 miliar orang tidak memiliki akses listrik. 2,5 miliar orang tidak memiliki akses kepada layanan sanitasi.

Bagi orang-orang ini, pertumbuhan ekonomi selama ini kurang inklusif.

Selain itu, keberhasilan pertumbuhan ini dicapai dengan mengorbankan lingkungan yang akan berdampak sangat buruk bagi generasi mendatang.

Indonesia memang telah menikmati pertumbuhan yang luar biasa. PDB telah meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir dan kemiskinan telah berkurang sampai separuhnya, turun menjadi 11,3 persen pada tahun 2014. Tetapi tidak semua orang merasakan manfaat dari keberhasilan tersebut.  Sukses ini pun makan biaya tinggi dengan merusak lingkungan.

Satu negara yang mengalami hal yang sama adalah Tiongkok. 

Perekonomian Tiongkok telah tumbuh dua digit selama beberapa dekade, tetapi mereka juga kehilangan 9 persen dari PDB-nya karena pertumbuhan yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengatasinya Tiongkok kini mengadopsi kebijakan-kebijakan ramah lingkungan atau disebut juga kebijakan ‘hijau, dan mengubah kegiatan ekonomi dengan lebih mengutamakan inovasi dan produksi yang punya nilai tambah tinggi. Sekarang, Tiongkok ingin maju dini dalam menerapkan proses produksi yang ramah lingkungan.

Bila kita terus bertahan dengan cara lama, manfaat pertumbuhan ekonomi akan berkurang karena sumber daya alam akan habis dengan cepat, dan kita akan lebih rentan menghadapi perubahan iklim atau risiko kesehatan.

Kerusakan lingkungan mempengaruhi semua orang. Namun yang paling menderita adalah kelompok masyarakat paling miskin.  Mereka lebih rentan terhadap iklim yang ekstrim dan bahaya banjir. Mata pencaharian mereka menjadi lebih tidak pasti. Tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia diderita oleh mereka yang tinggal di daerah dengan lingkungan yang rusak.

Jadi, jika ada satu pembelajaran paling penting bagi ahli pembangunan, pembuat kebijakan, dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia yang telah belajar selama beberapa dekade terakhir, adalah ini: Jika kita ingin berhasil dalam mengentaskan kemiskinan, kita tidak bisa hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi saja, kecuali pertumbuhan tersebut bersifat inklusif dan berkelanjutan bagi lingkungan.

Dalam bahasa yang sederhana: sukses akan bergantung pada bagaimana suatu negara tumbuh, bukan hanya berapa besar.

Topik hari ini adalah 'infrastruktur hijau,’ atau infrastruktur yang ramah lingkungan.  Seperti Anda semua pahami, infrastruktur akan menjadi kunci yang membantu negara-negara dalam mencapai potensi maksimalnya. Namun kesenjangan antara aspirasi dan realitas sangat besar. Asia Timur saja membutuhkan $ 8 triliun untuk investasi infrastruktur agar memenuhi kebutuhan infrastruktur hingga tahun 2020. Di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebutuhan infrastruktur sangat besar dan mendesak.

Di Bank Dunia kami bekerja keras untuk membantu mengisi kesenjangan demi mendukung banyak negara untuk mencapai potensi maksimal mereka. Kami punya semangat baru untuk memusatkan perhatian pada investasi infrastruktur di seluruh dunia. Kami menyambut baik adanya pemain baru dalam bidang ini - seperti AIIB dan Bank Pembangunan Baru. Kami menyambut baik semua upaya untuk menyusun proyek-proyek yang bankable dan menarik bagi investor dan yang manfaatnya dapat dinikmati oleh semua warga negara.

Kami juga menyambut kesempatan yang kami hadapi: kesempatan untuk beralih ke proyek-proyek infrastruktur yang lebih bersih, lebih berkelanjutan dan inklusif - di Indonesia dan di seluruh dunia. Mengupayakan infrastruktur hijau pada hari ini dapat memberikan manfaat selama beberapa dekade ke depan. Negara-negara berkembang justru bisa lebih dulu melompat dari pertumbuhan yang ‘coklat’ atau ‘korot’, ke pertumbuhan ‘hijau.’

 

Peran Energi, Sumber Daya Alam, dan Tata Kelola Pemerintahan

Saya ingin menyoroti tiga bidang yang sangat penting untuk memastikan bahwa pertumbuhan di masa depan ramah lingkungan dan inklusif.

Pertama, energi yang kita produksi harus bersih dan kita perlu menggunakannya secara efisien. Kedua, kita perlu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab.

Dan ketiga, kita perlu kebijakan yang baik, tata kelola pemerintahan yang baik, dan kepemimpinan yang tidak takut untuk melakukan pembaruan.

Sektor energi memiliki potensi besar dalam mengurangi kemiskinan sekaligus menciptakan pertumbuhan hijau.

Bahkan, akses kepada energi yang berkelanjutan merupakan tujuan pembangunan itu sendiri. Tanpa listrik, Ibu-ibu dan anak perempuannya harus jalan berjam-jam untuk mengambil air, klinik-klinik tidak bisa menyimpan vaksin, anak-anak kita tidak bisa menyelesaikan tugas sekolah pada malam hari, pengusaha tidak dapat menjalankan usaha mereka secara kompetitif, dan negara tidak dapat memperkuat ekonominya.

Di Afrika, tantangan dari penyediaan akses ke listrik sangat besar. Di Ethiopia, misalnya.  Negara ini memiliki populasi 91 juta orang dimana sekitar 68 juta warganya hidup dalam kegelapan.

Data terbaru mengungkapkan bahwa warga kurang mampu kini mendapatkan akses listrik lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Ini berita baik, namun hampir 3 miliar orang masih memasak dengan bahan bakar yang menimbulkan polusi, seperti minyak tanah, kayu, arang dan kotoran sapi. Untuk mengatasinya, pembangkit energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi harus segera dimaksimalkan.

Di Indonesia, batubara merupakan lebih dari setengah bauran energi adalah. Namun negara ini juga memiliki 40 persen potensi sumber daya panas bumi dunia. Jika dikelola dengan baik, akan membantu target pemerintah untuk melipatgandakan energi terbarukan untuk pembangkit listrik, menjadi 23 persen dalam 10 tahun.

Meningkatkan bauran energi juga dapat mengurangi risiko fiskal. Turki dan Thailand telah merasakan manfaatnya. Turki secara drastis mengurangi minyak bumi untuk beralih ke gas. Thailand mengurangi ketergantungan pada produk minyak bumi, dari dua pertiga menjadi sepertiga. Saat ini, gas alam menempati hampir setengah bauran energi.

Bidang penting kedua adalah pengelolaan sumber daya secara bertanggung jawab yang selama ini dikelola dengan biaya yang amat tinggi. 

Hutan tropis Indonesia merupakan yang ketiga terbesar di dunia. Hutan ini menghasilkan minyak sawit dan ekspor batu bara lebih banyak dari negara manapun di dunia. Tapi kelompok ini bergantung pada pertumbuhan yang menimbulkan polusi, mahal dan destruktif.  Pada tahun 2009, Bank Dunia memperkirakan bahwa Indonesia telah rugi hingga 10 persen dari PDB per tahun akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.

Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan kayu telah menyebabkan lebih banyak kebakaran, polusi udara dan menyebabkan kerugian ekonomi yang parah. Selama tiga bulan pada tahun 2014, kebakaran hutan menyebabkan kerusakan sebesar kurang lebih US$ 1 miliar.

Kerusakan ini, dan pertambangan, semakin memburuk.  Tiga perempat sungai-sungai di Indonesia, dan 15 ekosistem danau telah tercemar. Kontaminasi timah dan merkuri menjadi salah satu ancaman tertinggi di dunia, dengan risiko kesehatan yang serius.

Namun, tersedia juga peluang pengelolaan sumber daya yang cerdas dan berkelanjutan.  Misalnya, sektor perikanan.

Pengelolaan ekonomi ‘biru’ yang baik dapat mendukung ketahanan pangan, keberlanjutan pariwisata dan membangun ketahanan.  Namun kerusakan yang terjadi akibat penangkapan ikan secara berlebihan dan pembuangan limbah telah memperburuk kemiskinan dan mengurangi ketahanan pangan secara global.  Pengelolaan sumber daya ikan yang tidak efektif dan penangkapan ikan ilegal telah menyebabkan kerugian sebesar $ 75 - $ 125 milyar dari penghasilan global setiap tahunnya.

Indonesia dapat menghasilkan yang lebih baik.  Sumber daya alam laut dan pesisir dapat menghasilkan pertumbuhan yang signifikan.  Indonesia memiliki lebih dari 2,6 juta nelayan, dan 140 juta penduduk yang mata pencahariannya bergantung pada ekosistem laut dan pesisir.  Indonesia merupakan penghasil produksi ikan yang keduat terbesar di dunia. 

Tetapi hampir 65 persen terumbu karang di Indonesia terancam karena penangkapan ikan secara berlebihan.  Penangkapan ikan secara liar dan ilegal telah merugikan negara sekitar US$ 20 milyar dari total pendapatan.

Dampaknya terhadap warga sangat tinggi.  Rata-rata kemiskinan di wilayah pesisir merupakan yang tertinggi di Indonesia.

Memutar arah pembangunan yang merugikan ini sangat penting. Jika Indonesia memperbaiki tata kelola sektor perikanan dan berinvestasi pada bidang transportasi maritim dan infrastruktur perdagangan dalam skala besar, Indonesia dapat melipatgandakan produksi ikan pada tahun 2019.

Perkembangan terakhir memberikan harapan. Moratorium izin penangkapan ikan baru untuk operasi besar penangkapan ikan dapat menjaga populasi ikan. Pejabat kementerian yang melanggar peraturan, kini sedang ditindak.

Hal ini terkait dengan bidang ketiga yang membutuhkan perhatian mendesak jika kita ingin mengakhiri kemiskinan secara berkelanjutan: yaitu tata kelola pemerintahan yang baik. Bagi banyak negara, ini adalah tantangan terbesar mereka.

Sebagai salah satu contoh: Setiap tahun, Indonesia menderita kerugian sebesar US$ 4 miliar karena pembalakan liar. Sementara itu, pendapatan dari perizinan kehutanan hanya sebesar US$ 300 juta per tahun.

Ini adalah masalah tata kelola pemerintahan yang berkinerja buruk sehingga mempengaruhi penegakkan peraturan atau kemampuan untuk merancang peraturan yang lebih baik. Dan ini adalah masalah global.

Undang-undang dan peraturan yang saling bertentangan, mandat yang tumpang tindih, keengganan untuk menegakkan penggunaan lahan secara tepat, intervensi  kelompok elit, sikap yang sulit berubah dan kurangnya insentif untuk perilaku baik adalah kecenderungan lazim di banyak negara yang kaya sumber daya.

Seperti banyak negara, Indonesia dapat mengubah sistem pengambilan keputusannya menjadi lebih transparan dan inklusif, terutama tentang alokasi dan penggunaan sumber daya. Hal ini dapat memastikan bahwa lahan digunakan secara efisien. Dan Indonesia dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif pembangunan yang mencemarkan, sehingga masyarakat dapat menuntut pemerintah untuk melakukan perubahan.

Peluang lain adalah meningkatkan transparansi dan pengawasan perkembangan. Instansi pemerintah sering tidak mengetahui sejauh mana sumber daya alam sudah hampir habis terpakai. Masalahnya cukup sederhana, yakni adanya kesenjangan informasi, sehingga lebih sulit untuk menilai potensi keberlanjutan dari berbagai sektor.

Sektor energi, misalnya, membutuhkan data lebih banyak dan lebih baik tentang penggunaan energi dan emisi secara sederhana. Inilah kekurangan kita sekarang, semacam “audit ramah lingkungan” (green accounting) yang komprehensif. Jawabannya mungkin ada dalam bidang investasi dan teknologi - dan praktik-praktik terbaik global yang dapat diamati oleh Indonesia.

Tetapi ini juga soal kepemimpinan, membangun konsensus, mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengatur terjadinya pergeseran dari pertumbuhan ‘kotor’ yang mencemarkan dan eksklusif, menjadi pertumbuhan ‘hijau’ dan inklusif.

 

Penutup:

Tidak ada satu model pertumbuhan ‘hijau’ yang cocok untuk semua negara.  Opsi-opsi kebijakan dan investasi harus sesuai dengan kebutuhan khusus setiap negara dan diatur dalam strategi yang komprehensif.

Banyak yang khawatir bahwa pembangunan ramah lingkungan akan lebih mahal, menghambat output atau sebaiknya hanya menjadi keprihatinan negara-negara maju. Namun ketakutan ini berlebihan.  Pertumbuhan berkelanjutan tidak mahal dan bisa dilakukan.

Tetapi memang ada tantangannya, termasuk dibutuhkannya biaya yang tinggi pada awalnya dan pembiayaan jangka panjang selama 15 hingga 25 tahun ke depan.  Hanya sedikit negara berkembang memiliki pasar modal dan perbankan yang sesuai standar.  Pembiayaan yang inovatif sangat penting.  Ketika kemitraan antara pemerintah dan pihak swasta dapat membantu dan sedang ramai dipromosikan, sayangnya kemitraan seperti ini tetap terkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan menengah dan beberapa sektor saja.

Tantangan lain adalah pengelolaan biaya dan arah kebijakan yang tepat yang menjamin bahwa kita tidak hanya membangun sekolah, tetapi juga meningkatkan kualitas pendidikan. Tidak ada pembangkit listrik yang dapat digunakan, jika perusahaan beroperasi dengan kerugian. Hanya beberapa proyek infrastruktur dapat beroperasi dengan biaya penuh. Jadi kita harus menemukan cara untuk meringankan pengelolaan biaya, sekaligus menjaga agar layanan yang diberikan terjangkau oleh keluarga dan masyarakat berpenghasilan rendah.

 

Peluang yang ada

Dari 2011 hingga 2012, investasi yang dilakukan negara-negara berkembang dalam bidang teknologi bersih meningkat 19 persen, menjadi $ 112 milyar per tahun, menciptakan lapangan kerja yang baik bagi lingkungan dan pekerjanya.  Pekerjaan-pekerjaan terkait bidang ini cenderung lebih trampil, lebih aman dan berpenghasilan lebih baik.  90 persen bisnis berteknologi bersih mengalami peningkatan pendapatan bahkan ketika ekonomi global lesu.

Asia Timur dapat memimpin pembangunan hijau ini.  Kita bicara tentang Tiongkok.  Kamboja dan Vietnam telah mengintegrasikan rencana pertumbuhan hijau ke dalam kebijakan-kebijakan ekonomi dan mekanisme insentif berbasis pasar.  Rencana pembangunan jangka panjang Thailand yang paling baru menyertakan strategi pertumbuhan hijau, termasuk target untuk mengurangi intensitas energi sebanyak 25 persen pada tahun 2030.  Malaysia telah menyusun dan mengimplementasikan undang-undang terkait perubahan iklim dan undang-undang untuk memotivasi digunakannya energi terbarukan.  Indonesia dapat belajar dari pengalaman-pengalaman ini.

Konferensi ini menegaskan kembali komitmen bersama kita untuk mempercepat investasi dalam bidang infrastruktur Indonesia yang amat dibutuhkan.  Konferensi ini bisa menjadi kesempatan untuk memulai pertumbuhan yang ‘hijau’ dan inklusif.  Caranya dengan mengatasi kebutuhan energi secara berkelanjutan, dengan mengelola sumber daya secara bertanggung jawab, dan dengan menciptakan mekanisme tata kelola pemerintahan secara tepat yang memberikan manfaat bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk generasi yang akan datang.

 

Thank you.

 

Terima kasih. 



Api
Api

Welcome