Seoul, Korea, 26 Oktober 2010: Hari ini Bank Dunia mengumumkan penandatanganan MoU dipenghujung tahun ini dengan Pemerintah Korea untuk memperkuat kerja sama dan berbagi keahlian dalam pengurangan risiko bencana dan penyesuaian perubahan iklim diantara negara-negara Asia. Hal ini “sangat relevan dan waktunya pun tepat mengingat konvergensi pengurangan risiko bencana yang kian meningkat serta agenda penyesuaian perubahan iklim,” ucap Direktur Sektor Bank Dunia untuk Pembangunan yang Berkelanjutan (Sustainable Development) di kawasan Asia Timur dan Pasific, John Roome, menjanjikan dukungan Bank Dunia untuk implementasi peta jalan Incheon di sidang pleno tingkat tinggi Konferensi 4 Kementrian Asia sehubungan dengan Pengurangan Risiko Bencana pada hari ini.
Pada tahun 2009, data Bank Dunia menunjukkan bahwa 6 dari 10 negara yang mengalami kerugian GDP terbesar dikarenakan oleh bencana alam berasal dari asia Pasifik, dan juga 82 persen dari seluruh kematian yang berhubungan dengan bencana alam sejak tahun 1997 (menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, IFRC). Dan yang mengalami penderitaan adalah negara-negara termiskin di kawasan yang bersangkutan, terutama dalam jumlah korban jiwa, penghidupan, serta asat-aset yang hancur. Contohnya: negara berpenghasilan rendah memiliki seperdelapan risiko angin topan namun menanggung empat perlima risiko mortalitas.
Dikarenakan oleh 85 persen dari korban bencana terkonsentrasi di kawasan Asia Pasifik, sangat penting halnya untuk memitigasi serangkaian kermentanan yang ada. Kerentanan yang dimaksud meliputi tingkat urbanisasi yang tak terkira, peraturan institusional yang lemah, kurangnya monitoring risiko dan kesiapan bencana, digabung meningkatnya dengan bencana seismic dan yang berhubungan dengan iklim
“Untuk menanggapi tantangan ini diperlukan adanya model kerja sama baru serta tanggapan kebijakan yang terkoordini di berbagai sektor, institusi, dan kementrian; dan serangkaian perangkat kebijakan untuk mengambil keputusan dalam ketidakpastian,’ ucap John Roome. “Pilihan-pilihan pembangunan yang kita ambil hari ini akan mempengaruhi hasil dari bencana alam di masa yang akan datang, baik itu dalam bentuk bangunan sekolah dan jalan raya yang lebih aman, perencanaan penggunaan tanah atau perencanaan finansial yang lebih baik, serta kerangka kerja kebijakan yang lebih baik. Kita dapat mengambil tindakan hari ini yang akan mengurangi korban jiwa dan aset perekonomian di masa yang akan datang,” ujarnya.
Penelitian baru oleh Bank Dunia menunjukkan biaya untuk mengadaptasi dunia lebih hangat sampai dengan 2°Centigrade berkisa antara USD 75 milyar sampai USD 100 milyar per tahun – dimana bagian Asia Pasifik lah yang terbesar. Temuan ini ada dalam laporan Bank Dunia yang akan diluncurkan mengenai Perekonomian Perubahan Iklim, yang juga mencatat sejumlah investasi ini akan diperlukan untuk meningkatkan dan menyesuaikan infrastrusktur termasuk drainase dan bangunan umum, zona pesisir, persediaan air bersih dan perlindungan banjir. Hal ini akan memakan biaya sekitar 54 persen dari biaya adaptasi atau penyesuaian secara keseluruhan, dan jalan raya sekitar 23 persen.
Hal ini menekankan pentingnya mencapai hasil konkret pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di bulan Desember di Cancun. Walaupun Bank Dunia bukan merupakan pihak yang terlibat dalam negosiasi, Bank Dunia khajwatir bahwa tanpa adanya kemajuan dalam perubahan iklim, kemajuan dalam pengentasan kemiskinan global pun akan terhambat. Bank Dunia secara aktif bekerja sama dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim dan negara-negara klien, termasuk di Asia Timur dan Pasifik, dalam membantu perencanaan perjanjian kerja sama global dan memperbolehkan terjadinya tindakan di lapangan.
Bank Dunia memiliki portfolio sebesar kurang lebih USD 1,5 milyar dalam Manajemen Risiko Bencana (Disaster Risk Management – DRM)di Asia Timur dan Pasifik. Sebagian besar dari portfolio ini ditargetkan pada rekonstruksi pasca gempa bumi di Cina dan Indonesia, inisiatif baru termasuk juga Pinjaman Kebijakan Pembangunan Perubahan Iklim di Vietnam dan Indonesia, pemodelan risiko untuk delta Mekong dan kerangka kerja Pendanaan Risiko Malapetaka untuk pulau-pulau Pasifik. Lebih dari USD 300 juta diinvestasikan dalam program perintis dan perluasan program yang telah dinilai berhasil membantu masyarakat miskin dalam menghadapi bencana alam, peningkatan kapasitas DRM dan sistem pemberitahuan awal. Dampak transnasional bencana alam menggarisbawahi pentingnya penguatan rekanan dalam manajemen risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Melalui Fasilitas Global untuk Pengurangan dan Pemulihan Bencana (Global Facility for Disaster Reduction and Recovery – GFDRR), Bank Dunia dan anggota donornya muncul menjadi bagian integral dari arsitektur pendanaan adaptasi iklim global yang terus berkembang.
“Permintaan yang kian meningkat dari banyak negara untuk investasi preventif dalam pengurangan risiko bencana di daerah-daerah seperti sistem pemberitahuan awal, manajemen risiko bencana berbasis masyarakat dan infrastruktur tahan bencana menandai kesadaran yang lebih besar akan risiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan bencana terhadap pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan,” ujar Abhas Jha, Ketua Program Bank Dunia untuk Manajemen Risiko Bencana di Asia Timur dan Pasifik. “Bank Dunia bersama dengan rekanannya menanggapi permintaan ini dengan sejumlah cara yang inovatif dengan instrumen finansial baru, analisa risiko investasi dan pembangunan kapasitas.”
Untuk informasi lebih lengkap silahkan kunjungi situs kami: https://www.worldbank.org/eapdisasters