Skip to Main Navigation
ARTIKEL 07 Juni 2021

Melestarikan Laut di Timur Kepulauan Indonesia

Image

Komposisi yang mengagumkan - Salah satu destinasi utama di Kepulauan Raja Ampat adalah Pulau Piaynemo. Foto oleh Donny Fernando/National Geographic Indonesia.


Kampung Mutus adalah kampung nelayan di kepulauan Raja Ampat di bagian Timur Indonesia. Lokasi ini terkenal dengan budi daya ikan lautnya. Seorang keturunan Tionghoa bernama Ateng memulainya pada 1989 untuk mencari tongseng atau kerapu merah.

“Saya punya kakak bertemu dengan Ateng, dia ajak ke Kampung Mutus. Kebetulan tongseng di sini banyak. Akhirnya kampung ini disebut kampung nelayan. Karena bisa rawat ikan-ikan yang ditangkap di keramba-keramba penampung,” kata Markus Dimara, Kepala Adat Kampung Mutus.

“Nelayan sekarang, keluar pagi dengan dua puluh liter bensin paling banyak dapat sepuluh ekor, bahkan ada yang dua ekor. Karena hasil laut semakin waktu semakin berkurang. Karena cara penangkapan yang tidak teratur di masa lalu,” ucapnya.

Sektor perikanan memiliki peran penting dalam perekonomian Raja Ampat dan juga Indonesia.

Tantangan masih berdatangan, yang mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada laut. Penangkapan ikan secara berlebihan telah mengurangi pasokan ikan, sepertiga terumbu karangnya berada dalam keadaan terdegradasi, sampah laut meningkat, dan separuh area mangrovenya tidak sehat.

Namun, dalam segara biru di Timur Indonesia, peluang bumi masih ada dan warga masih bisa sejahtera.

Image
Upaya konservasi – Warga Yensawai Barat, Raja Ampat, menyiapkan bibit mangrove untuk ditanam.  Mangrove melindungi pesisir dari gelombang tinggi dan abrasi. Perlu kegiatan konservasi yang lebih kuat agar deforestasi mangrove dapat dihentikan, misalnya perluasan moratorium alih fungsi hutan primer hingga meliputi seluruh ekosistem mangrove. Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia.


Melindungi ekosistem laut dan pesisir adalah kunci bagi kesejahteraan Indonesia

Awaludin Noer Ahmad, atau akrab disapa Wawan Mangile, koordinator program untuk wilayah Kepala Burung Papua di Yayasan Konservasi Nusantara menyatakan bahwa ketika pandemi muncul, ada banyak celah untuk bertahan di Raja Ampat.

“Masyarakat tahu ada pandemi, tapi tidak takut lapar. Itu salah satu indikasi bahwa memang mereka percaya bahwa konservasi adalah jalan nyata. Jika sektor wisata mati total, pasti kita sengsara. Tapi masyarakat kampung di Raja Ampat bilang kami masih punya ikan, sagu, dan kasbi. Yang kami tidak punya hanya uang,” ujarnya.

Menurut Wawan, kearifan di Raja Ampat telah lama mengandung nilai konservasi. Salah satu contohnya adalah sasi, yang bertujuan untuk mengatur kelestarian sumber daya alam. Khususnya di laut, biota tidak boleh ditangkap pada kurun waktu tertentu, sebelum dipanen secara bersamaan. Tradisi ini menjaga agar biota bisa berkembang biak dan tidak punah.

“Misalnya saat sasi mereka ambil teripang ada ukuran yang dibatasi, tidak diambil semua. Kemudian mereka butuh waktu 5-6 tahun untuk buka lagi,” kata Wawan. “Ketika dibatasi, mereka bisa buka tiap tahun. Mereka juga tidak ambil lobster yang punya telur. Sehingga populasi teripang dan lobster terjaga.”

Kearifan ini dapat diterapkan di wilayah lain di Nusantara. Laporan baru Bank Dunia yang berjudul Laut untuk Kesejahteraan juga menyebutkan bahwa Pemerintah dapat memberikan hak panen kepada masyarakat tertentu di pesisir, atau kepada perusahaan, dalam jumlah dan batas tangkapan tertentu. Prinsip berbasis hak ini dapat mendorong pengelolaan yang lebih baik dan meningkatkan produktivitas perikanan.


Mendorong pariwisata berkelanjutan dan mengurangi sampah plastik

Image
Belajar sejak dini: Usal (kanan) berkomitmen mendidik anak-anak Pulau Arborek. Kegiatan belajar-mengajar masih terus dilakukan walau terdapat ketertinggalan dari segi fasilitas. Usal merupakan salah satu guru sukarela di Kitong Bisa. Mereka mengajarkan nilai kehidupan (termasuk konservasi dan pariwisata) dengan metode bahasa Inggris setiap Sabtu dan Minggu.  Foto: Donny Fernando/National Geographic Indonesia.

Pemandangan laut Raja Ampat dan kehidupan bawah laut yang mempesona menjadikan pariwisata sebagai salah satu kontributor utama ekonomi lokal. Ini juga berarti pandemi COVID-19 sangat berdampak pada pariwisata di Raja Ampat, khususnya bagi pemilik dive center atau homestay kecil. Sekalipun ada wisatawan, mereka lebih memilih resort — penginapan berfasilitas mewah. Arborek Dive Shop milik Githa Anasthasia dan Marsel Mambrasar saja selama pandemi baru kedatangan 15 tamu.

“Orang lebih suka menginap di resort yang proper ketimbang tinggal dengan masyarakat lokal, walaupun tidak seratus persen,” ucap Githa.

Meski jumlah kedatangan turis turun drastis, pandemi memberi banyak pelajaran bagi Marsel dan Githa, terkait makna pariwisata yang berkelanjutan. Mereka bisa bertahan dengan mata pencaharian lain, seperti berkebun atau mengolah ikan laut menjadi produk ikan asin.

“Itu yang harus kita pelajari dari pariwisata berkelanjutan, sekalipun tanpa wisatawan,” pungkas Githa.

Meski jumlah wisatawan menurun di Raja Ampat, pencemaran sampah plastik masih terus terjadi. Menurut Marsel, sumbernya tak lepas dari Sorong, kota terbesar di Papua Barat, dan Waisai, kota kecil di bagian selatan Pulau Waigeo di Kepulauan Raja Ampat.

Situasi ini dibenarkan juga oleh Wawan. “Biak sudah menetapkan aturan tidak boleh pake kantong kresek, jadi kembali ke noken,” mengacu pada tas anyaman tradisional yang terbuat dari serat kayu atau daun.

Laporan Laut untuk Kesejahteraan menyebutkan bahwa selain inisiatif seperti pembersihan pantai, diperlukan insentif untuk inovasi dan daur ulang plastik, serta strategi untuk mengurangi penggunaan plastik. Selain itu, kegiatan restorasi dan peningkatan infrastruktur desa dapat menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan ketahanan pesisir.

Image
Githa Anasthasia, warga yang aktif dalam pelestarian, usai menyelam untuk mengamati perilaku pari manta. Pelestarian alam membawa manfaat ekonomi dan mata pencaharian bagi masyarakat..


Mendorong ekonomi laut berkelanjutan melalui kolaborasi

Bank Dunia mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan ekonomi laut berkelanjutan – atau strategi ekonomi biru. Strategi ini berfokus pada investasi untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir dan memulihkan ekosistem kritis, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang – investasi selama 20 tahun bagi pengelolaan dan penelitian terumbu karang, serta Program Pembangunan Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan (P3TB ), yakni sebuah platform untuk perencanaan dan infrastruktur pariwisata yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Bank Dunia juga memberikan dukungan teknis  melalui Indonesia Sustainable Oceans Program, melengkapi upaya peningkatan kapasitas dan basis pengetahuan terkait ekonomi biru.

Melalui berbagai upaya di atas dan berbagai kegiatan lainnya, Indonesia dapat mewujudkan ekonomi biru untuk generasi sekarang dan mendatang.

 

Artikel ini diadaptasi dari artikel majalah National Geographic Indonesia edisi khusus laut, Mei 2021, berjudul “Rencana Tuhan di Raja Ampat”, yang ditulis oleh Fikri Muhammad. Artikel ini ditulis dengan kemitraan antara Bank Dunia dan National Geographic Indonesia. Foto oleh Donny Fernando.


MULTIMEDIA

Image
click
VIDEO

Laut Untuk Indonesia yang Sejahtera



Api
Api