ARTIKEL

Indonesia: Menanam Kakao, Membangun Industri

23 April 2012


Image

Pelatihan yang membantu meningkatkan hasil panen, membuat para petani di Aceh kembali bertanam kakoa.


PESAN UTAMA
  • Kakao merupakan salah satu komoditi andalah Aceh, tapi banyak perkebunan yang ditinggalkan akibat konflik berkepanjagnan.
  • The Multi Donor Fund for Aceh and Nias membantu petani memperoleh hasil panen yang lebih besar, sehingga membuat banyak petani kembali menanam kakao.

Aceh, April 23, 2012 –   “Dulu kebun-kebun kakao ini lebih mirip hutan,” ujar Anita Rahayu, seorang petani kakao di Desa Padang Kesib, Kabupaten Bireuen, Aceh. Walau tidak terkena dampak tsunami atau gempa bumi, kebun-kebun kakao di desa ini cukup lama terlantar akibat konflik berkepanjangan, serta serangan hama dan penyakit pada buah kakao. “Tapi sekarang, kebun-kebun kakao sudah mulai terurus. Kami melakukannya dengan gotong royong: hari ini pembersihan di kebun salah satu anggota , besok ke kebun anggota lainnya. Bergiliran, hingga semua kebun dibersihkan.”

Anita Rahayu, adalah seorang petani andalan dari Sekolah Lapang Kakao yang dibina oleh Swisscontact, melalui program Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh. Ia mengakui, tidak mudah untuk mengajak masyarakat kembali memelihara kebunnya. Sebelumnya, para petani kakao di Desa Padang Kesib tidak bisa hidup dari hasil kebunnya. Dengan kondisi semula, kebun-kebun di desa ini hanya bisa menghasilkan sekitar 25 kilogram biji kakao kering per 2 hektar untuk sekali masa panen. Padahal semestinya, per 1 hektar dapat menghasilkan antara 500-700 kilogram biji kakao kering.


" “Jadi saya praktekkan saja ilmu yang saya dapat dari pelatihan yang dilakukan Swisscontact, di kebun kakao saya sendiri. Dan ketika kebun saya sudah terlihat berubah, lebih bersih dan hama penyakit buahnya mulai berkurang, mereka mulai percaya,” "

Anita

Seorang petani andalan dari Sekolah Lapang Kakao yang kini sudah dapat memanen 70 kilogram dari 2 hektar kebun kakaonya.

Pendekatan serupa juga dilakukan di kabupaten Bireun oleh Sjamsul Bachri, seorang mantan kombatan yang berhasil memulai hidup baru sebagai petani kakao setelah Aceh berdamai. Setelah mempraktikkan ilmu yang diperolehnya lewat penyuluhan Swisscontact, Sjamsul kemudian terinspirasi untuk menulis buku pelatihan sendiri tentang cara merehabilitasi dan melestarikan kebun kakao. Bukunya menggabungkan ilmu pelatihan Swisscontact, dan juga hasil-hasil eksperimentasinya sendiri di lapangan. Hebatnya lagi, buku ini dicetak dengan modal sendiri dan dibagi secara gratis kepada warga desanya -- agar mereka pun terinspirasi untuk kembali berkebun dan menjadikan kakao sebuah komoditas lokal.

Sjamsul dan Anita sama-sama bekerja untuk memajukan industri kakao Aceh. Keduanya mendapat penyuluhan dari Swisscontact melalui Sekolah Lapang Ppetani Kakao. Mereka pun menarik warga sekitarnya untuk menimba ilmu lewat program Sekolah Lapang, dimana mereka dipercaya utnuk menjadi penyuluh pendamping. Anita contohnya, memimpun kelompok yang beranggotakan 29 orang, dimana hampir separuhnya adalah petani perempuan. Sejauh ini, program Sekolah Lapang telah berhasil melatih 12.000 petani dan merehabilitasi 845 hektar kebun kakao di kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya dan Aceh Tenggara.

“Ukuran pencapaian dari program ini adalah dalam mengubah pandangan dan perilaku petani tentang kakao. Dulu mereka berpikir mustahil untuk dapat menggantungkan kehidupannya dari bertanam kakao. Sekarang mereka sudah dapat merasakah sendiri manfaatnya,” terang Manfred Borer, Program Manager - Swisscontact.

Seiring dengan upaya apa yang telah dilakukan, Kepala Badan Perencanaan Daerah Aceh, Iskandar, menyebutkan, pemerintah memberikan perhatian yang cukup serius untuk komoditi kakao – yang menjadi salah satu dari empat komoditi andalan Aceh.

“Saat ini kami sedang membangun pelabuhan di Lhokseumawe senilai Rp 1,25 triliun. Pelabuhan ini disiapkan untuk ekspor berbagai komoditas unggul di Aceh seperti kakao,” tegasnya pada Aceh Cocoa and Coffee Conference yang digelar di Banda Aceh, bulan Maret lalu. Ia berharap, perluasan pelabuhan ini dapat memperkuat mata rantai produksi dari hulu ke hilir. “Dengan demikian, nilai tambah produksi meningkat dan ini berdampak pada perluasan tenaga kerja dan laju pertumbuhan ekonomi Aceh.”

Program Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh merupakan sub-proyek program Fasilitas Pendanaan Pembangunan Ekonomi (Economic Development Financing Facility) Aceh yang didanai Multi Donor Fund.

Multi Donor Fund for Aceh and Nias, yang dikelola oleh Bank Dunia, memberikan hibah senilai $44,5 juta dari total anggaran kepada delapan lembaga untuk menerapkan sejumlah sub-proyek. Program Economic Development Financing Facility bertujuan mendukung pemulihan ekonomi pasca-tsunami dan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang berkesinambungan yang adil, dan sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh.


Api
Api

Welcome