ARTIKEL

Jakarta: Tantangan Perkotaan Seiring Perubahan Iklim (Laporan)

03 November 2011


3 November, 2011- Saat Konferensi Tingkat Tinggi Walikota di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick dan sejumlah walikota menyambut baik pembentukan Satuan Tugas Walikota untuk Kemiskinan daerah Perkotaan dan Perubahan Iklim. Pada pertemuan Satuan Tugas di bulan April 2010, para walikota dan Bank Dunia setuju memilih empat kota yang akan dijadikan studi kasus – Dar es Salaam, Jakarta, Mexico City dan São Paulo. Tujuan utama studi kasus ini adalah mencatat dan mempelajari apa yang terjadi terkait kemiskinan di daerah perkotaan, perubahan iklim dan manajemen risiko bencana alam di empat kota di atas.

“Jakarta: Tantangan bagi Perkotaan dalam Iklim yang terus Berubah” – adalah laporan dari studi kasus Jakarta. Temuan utama dari laporan ini adalah:

  • Pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang kuat dan berkesinambungan telah menghasilkan peningkatan pesat daerah perkotaan dan perubahan penggunaan lahan. Antara tahun 1980-2001, hampir seperempat lahan di Jakarta diubah dari pemanfaatan non-perkotaan (seperti: pertanian, lahan basah) dan sekarang dimanfaatkan untuk kebutuhan perkotaan seperti industri, perdagangan dan perumahan. Lahan yang belum dibangun di Jabodetabek turun sebanyak 60 persen antara tahun 1992 dan 2005.
  • Pertumbuhan dan urbanisasi Jakarta yang pesat telah meningkatkan permasalahan infrastruktur skala besar yang diakui pemerintah Jakarta, juga dialami secara rutin oleh masyarakat. Permasalahan ini termasuk perluasan daerah perkotaan, kemacetan jalan raya yang parah, pemukiman informal, banjir yang meluas, kurangnya air bersih dan pelayanan manajemen limbah padat, dan subsidensi lahan.
  • Jakarta kini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Risiko terkait perubahan iklim dan bencana terbesar yang dihadapi Jakarta adalah banjir dengan dampak buruk sangat besar bagi perekonomian dan masyarakat Jakarta. Empat puluh persen dari wilayah perkotaan, sebagian besar di daerah utara, berada di bawah permukaan laut dan sangat rentan terhadap banjir karena air pasang, badai, dan kenaikan tingkat permukaan laut di masa depan. Baik jumlah maupun intensitas curah hujan telah meningkat, serta naiknya suhu global dan efek urban heat island telah meningkatkan suhu rata-rata.
  • Masyarakat miskin Jakarta merupakan anggota produktif dan integral dari perekonomian kota, mereka juga yang paling rentan terhadap risiko akibat banjir. Mereka juga banyak akal dan mampu beradaptasi, dengan banyak tindakan yang sudah dilakukan baik di tingkat individual maupun di tingkat masyarakat. Jakarta memiliki ekonomi informal yang luas yang menyediakan tenaga kerja tidak terampil dimana ekonomi formal kota ini bergantung. Statistik resmi menunjukkan bahwa 3,48 persen dari penduduk Jakarta – lebih dari 312.180 orang – berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk Jakarta yang tinggal di sepanjang pesisir laut dan aliran sungai rentan cedera fisik dan kehilangan tempat tinggal. Mereka juga sangat rentan dari sisi ekonomi karena sumber penghidupan mereka sebagian besar berada di daerah yang sama.
  • Masyarakat miskin perkotaan memiliki peranan penting dalam menanggapi kerentanan Jakarta terhadap perubahan iklim dan bencana. Dikarenakan pendapatan mereka yang rendah, penduduk miskin Jakarta tidak banyak mengkonsumsi energi, dan mereka tidak menghasilkan banyak emisi gas rumah kaca. Namun, tekanan urbanisasi telah memaksa penduduk miskin untuk bermukim secara informal di perumahan yang padat dan tidak layak. Solusi yang berkelanjutan untuk banjir di Jakarta perlu menanggapi isu-isu ini dengan kerjasama aktif dari masyarakat setempat.
  • Pemerintah Jakarta sudah mulai mengambil tindakan untuk menanggapi perubahan iklim, namun masih banyak yang perlu dilakukan untuk mengarusutamakan perubahan iklim di semua sektor untuk jangka panjang. Investasi infrastruktur yang besar untuk menurunkan kerentanan termasuk membangun kanal-kanal banjir besar dan penahan ombak di sepanjang pesisir. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk merencanakan masa depan dan mempersiapkan masyarakat terhadap bencana-bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim serta memperbaiki dan memperbaharui kebijakan-kebijakan pemerintah.
  • Beberapa prinsip dasar dapat menuntun arah ke depan untuk menanggapi perubahan iklim, risiko bencana dan kemiskinan di daerah perkotaan. Pertama, adaptasi perubahan iklim seharusnya tidak menjadi tantangan tambahan pada kebijakan dan prioritas perencanaan yang sudah ada, namun menjadi kesempatan bagi pemerintah Jakarta dan mitra utamanya untuk menerapkan fokus dan prioritas untuk masa depan. Kebijakan dan investasi perlu dibuat berdasarkan informasi yang lebih baik, termasuk data kuantitatif dan pemahaman tindakan di tingkat masyarakat dan kapasitas-kapasitas adaptasi. Pada akhirnya, kolaborasi yang lebih baik – dengan pemerintah provinsi-provinsi tetangga, juga dengan masyarakat setempat sebagai peserta dan mitra aktif – penting untuk kesuksesan di masa depan.

 

 


Api
Api

Welcome