ARTIKEL

Indonesia: Masyarakat Bekerja untuk Meningkatkan Sanitasi, Akses Air Bersih

21 Maret 2014


Image

Dengan sedikit dukungan, masyarakat mengembangkan dan mengelola layanan air bersih sendiri – sebuah potensi untuk mencapai sasaran akses universal pada tahun 2019. Lihat slideshow

Nugroho Nurdikiawan / The World Bank

PESAN UTAMA
  • Indonesia berencana untuk mencapai akses air bersih universal pada tahun 2019 namun saat ini hampir setengah penduduk belum memiliki akses.
  • Sebuah program berbasis komunitas memberikan dukungan kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan dan fasilitas agar mereka bisa menciptakan layanan air bersih yang dikelola masyarakat sendiri.
  • Dengan memastikan aspek keberlanjutan, program tersebut telah meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui akses air bersih dan direplikasi pada tingkat nasional.

Bogor, Indonesia, 21 Maret 2014 – Sekitar satu tahun yang lalu, Mimin, ibu dua anak, harus bergantian dengan suaminya mengambil air dari sungai dekat rumah mereka untuk mencuci dan mandi. Untuk memasak dan minum mereka menggunakan air dari sumur.

“Tapi air dari sumur bau, dan mengambil air setiap hari ke sungai sangat melelahkan,” kata Mimin. “Sekarang keluarga saya menggunakan air pipa. Airnya bersih dan harganya terjangkau. Hidup saya sekarang jauh lebih mudah.”

Akses air bersih yang lebih baik tingkatkan taraf hidup masyarakat

Keluarga Mimin dan banyak rumahtangga lain di Desa Gunung Sari, Jawa Barat, sekarang telah memiliki akses air bersih melalui dukungan proyek Water Supply and Sanitation for Low-Income Communities yang dikelola bersama dengan Water and Sanitation Program

Melalui proyek tersebut, desa memperoleh hibah untuk mendistribusikan air dari mata air gunung agar mencapai penduduk di desa. Masyarakat kemudian membentuk sebuah unit pengelola saran air.

Ketika proyek dimulai pada tahun 2008, desa tersebut memiliki 47 sambungan sosial ke sekolah dan mesjid, serta 10 sambungan umum.

“Setelah masyarakat menyadari manfaatnya, pola konsumen sekarang berubah,” kata Adang Wahdiin, Kepala unit pengelola sarana. “Sambungan untuk fasilitas sosial dan sambungan umum berkurang, dan banyak penduduk yang memasang sambungan rumah. Sekarang kita memiliki 624 sambungan rumah, dari awalnya tidak ada sama sekali.”

Manfaat lain yang diterima masyarakat adalah harga air yang lebih murah.

“Dulu saya harus membayar Rp 60.000 dari penjual air keliling. Sekarang saya hanya membayar setengahnya dan mutu airnya lebih bagus,” kata Teti, dari desa Sukamanah.


" Dulu saya harus membayar Rp 60.000 dari penjual air keliling. Sekarang saya hanya membayar setengahnya dan mutu airnya lebih bagus "

Teti

Desa Sukamanah

Adanya akses air bersih telah membantu penduduk meningkatkan kondisi sanitasi. Salah satu persyaratan yang telah disetujui di desa tersebut adalah untuk memasang sambungan rumah baru, harus memiliki septik tank. Semakin banyaknya jamban di dalam rumah telah banyak mengurangi buang air di tempat terbuka, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

“Saya lihat sekarang diare dan penyakit kulit sangat jarang di desa kami. Menurut saya itu karena makin banyak penduduk menggunakan air yang lebih bersih untuk masak dan mandi, termasuk anak-anak saya,” kata Icha yang sudah menggunakan air pipa selama dua tahun.

Keberlanjutan jadi kunci sukses program untuk jangka panjang

Pendekatan partisipatoris yang digunakan program menjadi menjadi kunci keberhasilan penggunaan fasilitas untuk jangka panjang. Sebagai contoh, kepala desa perlu mendapat persetujuan masyarakat sebelum berpartisipasi dalam program.

Perencanaan dilakukan oleh masyarakat sendiri, dibantu fasilitator yang sudah terlatih. Pembagian biaya meningkatkan peran dan kepemilikan oleh masyarakat, dan meningkatkan keinginan untuk membayar iuran untuk operasi dan pengelolaan. Pelatihan juga diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bidang manajemen, keuangan, serta askpek teknis yang membantu mereka menjaga keberlanjutan program.

Iuran bulanan yang terkumpul memastikan biaya operasi terpenuhi, serta masih ada dana yang tersisa.

“Pada awalnya kader desa harus pergi ke rumah-rumah untuk mengumpulkan uang iuaran bulanan. Sekarang sekitar 80 persen konsumen datang ke kantor kami untuk membayar langsung,” kata Adang Wahidin.

Dengan pengelolaan yang baik, desa tersebut bisa menggunakan dana lebih untuk membantu desa, seperti menambah anggara desa, membentuk koperasi simpan-pinjam untuk perempuan, dan membeli mobil siaga untuk kebutuhan darurat.

“Sekarang kami berencana untuk memperluas layanan,” kata Adang dengan bangga. “Ada sekitar 100 rumah yang mau memasang sambungan rumah baru. Sayangnya kami belum bisa memasang karena kurangnya persediaan air. Tapi kami berencana membeli beberapa lahan tanah yang memiliki mata air untuk menambah jumah rumah yang bisa kami layani.”

Pendekatan yang digunakan proyek ini, yang diimplementasikan di enam provinsi, kini telah direplikasi ke skala nasional melalui program Pamsimas.

Mencapai sasaran akses air bersih universal

Indonesia berencana mencapai akses air bersih universal pada tahun 2019. Namun saat ini hampir setengah penduduknya belum memiliki akses.

“Tantangan dalam mencapai sasaran akses universal adalah optimalisasi kolaborasi para pemangku kepentingan dalam pembangunan air minum dan sanitasi,” kata Eko Widji Purwanto, Kepala Sub-Direktorat Air Bersih dan Sanitasi, Bappenas. “Dan tantangannya bukan hanya menyediakan fasilitas dengan cakupan 100 persen. Tapi juga bagaimana menjaganya agar terus berfungsi dengan baik.”

Meskipun tantangannya besar, pengalaman masyarakat dalam mengelola fasilitas dan dana menunjukkan potensi Indonesia untuk mencapai sasaran tersebut. 



Api
Api

Welcome