Skip to Main Navigation
ARTIKEL06 April 2023

Melindungi Hutan dan Meningkatkan Mata Pencaharian di Indonesia

The World Bank

Hutan Indonesia di Lampung, Sumatera. Kredit foto: CIFOR

PESAN UTAMA

  • Indonesia telah menetapkan target untuk menjadikan kawasan hutan sebagai penyerap karbon bersih (net carbon sink) pada tahun 2030.
  • Kerangka kebijakan yang mendukung, dilengkapi dengan kepemimpinan di tingkat lokal, menjadi kunci kemajuan yang dicapai sejauh ini.
  • Berbagai program Bank Dunia mendukung perlindungan hutan dan mata pencaharian bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan Indonesia.

Dulu bapak Suryanto dikejar petugas karena melakukan penebangan liar, sekarang beliau dikejar oleh para pembeli yang ingin membeli madu Lestari yang ia budidayakan. Bapak Suryanto kini sudah mendapatkan “Kartu Tanda Penggarap” dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Barat di Provinsi Nusa Tenggara Barat di Kepulauan Sunda Kecil Indonesia. Kartu tersebut merupakan bukti bahwa bapak Suryanto memegang izin perhutanan sosial, yang memberikan akses legalkepadanya dan para petani lainnya untuk memanfaatkan kawasan hutan serta melakukan kegiatan mata pencaharian berkelanjutan, seperti wanatani (mis. budidaya kopi, kayu putih).

Ibu Denda, yang rumahnya berdekatan dengan bapak Suryanto, adalah lulusan jurusan ekonomi pembangunan dan anggota masyarakat adat yang sudah sejak lama mencari cara untuk melindungi hutan sekaligus mempertahankan sumber mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Melalui proyek Forest Investment Program II (FIP II) yang didukung oleh Bank Dunia, beliau dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di tingkat lokal, daerah, dan nasional untuk mengembangkan skema ekowisata dan merehabilitasi kolam alam sebagai destinasi wisata di dalam kawasan hutan.

“Dengan dukungan Program FIP II, jumlah pengunjung kawasan pemandian alam di dalam kawasan Hutan Adat Mandala berhasil meningkat sebesar 50 persen,” ujar Ibu Denda. “Ini membantu perekonomian kami.”

The World Bank
Kolam pemandian yang dikelilingi oleh Hutan Adat Mandala, Nusa Tenggara Barat
 

Empat Pembelajaran untuk Mengubah Hutan Indonesia Menjadi Penyerap Karbon Bersih

Upaya yang dilakukan oleh bapak Suryanto dan ibu Denda, serta berbagai upaya serupa lainnya, akan berperan penting bagi kemajuan Indonesia dalam mengurangi emisi dari sektor hutan dan tata guna lahan (FOLU). Secara historis, sektor FOLU berkontribusi pada lebih dari 40 persen emisi Indonesia akibat deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan.  Sementara berbagai kejadian tersebut melepaskan emisi karbon ke atmosfer, sebetulnya pepohonan dan hutan yang utuh juga dapat menyerap karbon – berfungsi efektif sebagai penyerap karbon dari atmosfer.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mendorong praktik tata guna hutan dan lahan yang lebih banyak menyerap daripada melepas emisi karbon hingga tahun 2030. Komitmen ini dikenal dengan sebutan “target net sink FOLU” yang menjadi bagian dari Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32 persen, atau sebesar 43 persen dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan skenario business as usual, hingga tahun 2030. Selain mengurangi emisi, pengelolaan hutan lestari juga bertujuan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat.

Sejak tahun 2016, Bank Dunia telah mendukung transisi Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan lanskap yang rendah karbon, tangguh, kaya akan keanekaragaman hayati, dan sejahtera melalui Program Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan (SLMP) Indonesia. Pengalaman dan pencapaian SLMP memberikan empat pembelajaran penting.

Pertama, kepemimpinan yang kuat sangat dibutuhkan, khususnya di tingkat lokal. Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050, Nationally Determined Contribution dan target penyerapan karbon dari sektor hutan dan tata guna lahan perlu diterapkan di tingkat provinsi. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menjadikan konservasi lingkungan sebagai komponen inti pembangunan provinsi dengan memasukkannya ke dalam rencana pembangunan jangka menengah. Dokumen ini menjadi referensi untuk melindungi hutan sekaligus meningkatkan mata pencaharian dan perekonomian lokal. Provinsi Jambi dan Kalimantan Timur juga telah sama-sama memelopori melalui pengembangan Rencana Pembangunan Hijau.

Kedua, desentralisasi pengelolaan hutan berperan penting terhadap upaya untuk menyeimbangkan perlindungan hutan dengan kegiatan ekonomi lokal. Pada tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai lembaga untuk mencapai target kebijakan nasional dan menyeimbangkan prioritas ekonomi dan lingkungan di tingkat lokal. Di berbagai lokasi operasionalnya, KPH berhasil mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, serta memastikan bahwa masyarakat setempat turut berperan dalam perlindungan dan pemanfaatan hutan.

Proyek FIP II yang didukung oleh Bank Dunia berperan penting dalam percontohan dan operasionalisasi model KPH. Melalui proyek yang didanai oleh Climate Investment Funds (CIF) dan dilaksanakan oleh KLHK sejak tahun 2016, sepuluh KPH di delapan provinsi di seluruh Indonesia telah menjalin kemitraan dengan masyarakat, termasuk 95 kelompok tani hutan. KPH dikelola sesuai dengan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) yang berkelanjutan, didukung oleh mekanisme pembagian manfaat dan resolusi konflik untuk memastikan dukungan berkelanjutan dari masyarakat.

Hingga saat ini, lebih dari 110.000 penerima manfaat langsung (30 persen di antaranya adalah perempuan dan 15 persen di antaranya masyarakat adat) telah berpartisipasi dalam kegiatan proyek FIP II dan memperoleh manfaat keuangan dan non-keuangan, seperti akses ke e-learning, fasilitasi pengembangan model agroforestri, dan keterampilan pengelolaan hutan lestari.

Ketiga, jaminan kepemilikan lahan bagi masyarakat setempat dan masyarakat adat berperan penting untuk perlindungan hutan dan mata pencaharian. Tidak adanya jaminan hak atas tanah membuat masyarakat adat dan masyarakat setempat rentan terhadap pengusiran, konflik lahan, serta mengurangi peluang mata pencaharian – yang kerap mengakibatkan deforestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat adat dan masyarakat setempat memainkan peran penting sebagai penjaga hutan. Pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan mereka dapat membantu melindungi hutan, yang berperan penting bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Proyek lain yang didukung oleh Bank Dunia dan juga dibiayai oleh CIF adalah Proyek Penguatan Hak dan Ekonomi Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal (seringkali disebut sebagai Dedicated Grant Mechanism Indonesia [DGM-I]). Proyek ini berhasil mendukung masyarakat adat dan masyarakat setempat agar dapat memperoleh akses lahan secara legal.

Proyek ini memberntuk komite pengarah nasional untuk mewakili masyarakat adat dan masyarakat setempat dari tujuh daerah di pelosok Indonesia dan membantu mempercepat pengakuan terhadap lebih dari 2 juta hektare wilayah adat (lahan yang berkaitan dengan hak ulayat dan hukum adat). Selain itu, proyek ini telah memfasilitasi penetapan status untuk lebih dari 180.000 hektare hutan adat (hutan yang terletak di dalam Kawasan masyarakat adat) dan kawasan perhutanan sosial (kawasan hutan yang dialokasikan oleh pemerintah untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat) di 51 komunitas.

Pengakuan hukum terhadap hak atas lahan ini perlu disertai dengan upaya untuk meningkatkan nilai ekosistem hutan yang sehat bagi mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat. Pembayaran jasa ekosistem dapat menjadi insentif bagi masyarakat yang melakukan aksi untuk meningkatkan penyediaan jasa ekosistem, seperti pemurnian air, mitigasi banjir, atau penyerapan karbon.

Yang terakhir, perlu menyesuaikan solusi yang ada untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi pada sektor tata guna lahan. Walaupun beberapa prasyarat umum demi terwujudnya hutan lestari telah ditetapkan – termasuk peningkatan dan penguatan kelembagaan, hak atas lahan, dan kepemimpinan – kepercayaan masyarakat perlu dibangun, sementara pembiayaan jangka panjang juga perlu dijamin. Program FOLU Net Sink dan model kesatuan pengelolaan hutan di tingkat tapak menjadi panduan untuk menerapkan solusi tingkat tapak agar provinsi dan kabupaten dapat mempertahankan tutupan hutan dan mengurangi tekanan dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka.

Dengan pembelajaran ini, Indonesia dapat terus meningkatkan mata pencaharian bagi orang-orang seperti bapak Suryanto dan ibu Denda, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi keanekaragaman hayati di seluruh Indonesia.

Memahami Upaya Pengurangan Emisi di Sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan di Indonesia

Blog

    loader image

TERBARU

    loader image