OPINI

Aceh delapan tahun kemudian: Manajemen Risiko Bencana Mengakar di Indonesia dan Menjadi Pembelajaran bagi Dunia

12 November 2012


Pamela Cox Artikel ini pertama kali terbit di The Jakarta Post November 12, 2012



Hampir delapan tahun telah berlalu sejak Aceh dan Nias diterpa gempa dan tsunami yang begitu mematikan.  Kini, ribuan rumah, jalan, dan jembatan telah berdiri kembali. Kemajuan yang menggembirakan ini benar-benar mencerminkan kerja keras dan ketangguhan bangsa Indonesia, serta dukungan komunitas global yang demikian kuat .  Pada akhir tahun 2012, upaya Multi-Donor Fund untuk Aceh dan Nias, atau MDF—yang telah berhasil mengumpulkan dana hibah sebesar US$ $655 juta dari 15 donor untuk pemulihan—akan berakhir.

Namun, nilai pembelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman ini jauh lebih berharga bahkan dari berbagai capaian yang telah diraih sekali pun.  Sebagai negara yang cukup rentan terhadap bencana alam, Pemerintah Indonesia dengan tegas memimpin pelaksanaan MDF dalam menghadapi serta mengatasi berbagai tantangan rekonstruksi pascabencana.  Indonesia telah belajar banyak dari pengalaman ini dan, kini, di bawah kepemimpinan pemerintah, sebuah konferensi internasional berlangsung hari ini di Jakarta, guna berbagi pengalaman dalam pengurangan risiko dan pembangunan pascabencana, sekaligus merayakan berbagai capaian yang berhasil dicetak oleh MDF.

Program MDF telah memberikan demikian banyak pembelajaran tentang bagaimana menghadapi bencana dan bagaimana mengurangi risiko bencana di masa depan.

Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Bank Dunia, program MDF berhasil karena mereka menerapkan struktur yang transparan dan inklusif, sehingga memungkinkan semua pemangku kepentingan–yaitu pemerintah daerah dan pusat, para donor, lembaga internasional, para LSM, serta warga setempat–untuk berdiskusi dan mengambil keputusan bersama.  Program MDF juga menetapkan sistem pengelolaan pemanfaatan dana, pelaksanaan ketatapemerintahan yang baik, pemantauan pelaksanaan, serta pelaporan capaian.

Pembelajaran dari MDF juga telah membantu pemerintah dalam menghadapi bencana lain.  Ujian pun datang pada tahun 2006, ketika gempa bumi melanda daerah Yogyakarta dan sekitarnya.  Hampir 6.000 warga tewas, dan 300.000 rumah hancur.  Mata pencaharian warga setempat pun praktis luluh lantak. Pemerintah kemudian mendirikan Java Reconstruction Fund, dengan tujuh donor menyediakan US$ 95 juta.  Pendekatan berbasis masyarakat yang pada awalnya dikembangkan di Aceh, kembali diterapkan untuk merehabilitasi perumahan di daerah sekitar Yogyakarta–dan sukses terlaksanakan.  Berbagai program untuk memulihkan mata pencaharian pun berhasil membangun kembali usaha-usaha kecil dan menengah.

Tampaknya, terdapat kecenderungan bahwa dunia sudah mulai mengakui betapa pentingnya manajemen pengurangan risiko bencana.  Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana alam meningkat tiga kali lipat mencapai US$ 3,5 miliar selama tiga dekade terakhir.

Bulan lalu pada dialog Sendai di Jepang saat pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF, Bank Dunia dan Jepang menyerukan agar pemerintah dan mitra pembangunan mereka mempercepat upaya mengintegrasikan manajemen pengurangan risiko bencana dalam program pembangunan.

Indonesia telah melakukan hal ini, atau bahkan sudah lebih dari itu.  Kebijakan pemerintah Indonesia kini menyertakan komponen kesiapsiagaan bencana, membantu mempertangguh masyarakat yang senantiasa hidup dengan risiko bencana.

Pemerintah Indonesia memahami betapa upaya tanggap bencana yang efektif membutuhkan perencanaan terperinci dan sebuah sistem yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan. Karena itu, pemerintah pun membentuk sebuah mekanisme yang memungkinkan pengaliran dana secara segera, guna mempercepat upaya pemulihan pascabencana. 

Dengan mempertimbangkan seluruh elemen ini sejak dini, termasuk mekanisme manajemen dana secara transparan, serta sebuah sistem untuk mengidentifikasi strategi rekonstruksi dan implementasi, memungkinkan para penentu kebijakan untuk menanggapi kebutuhan darurat mereka yang selamat dari bencana, dan mengelola upaya rekonstruksi secara efisien.

Tak ada bangsa yang dapat benar-benar menghindari risiko bencana. Namun, semua negara dapat mengurangi kerentanan mereka. Pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh Indonesia dapat membantu berbagai negara lain mencari solusi.  Ketika saya menjabat sebagai Wakil Presiden Bank Dunia untuk Amerika Latin dan Karibia, kami meminta masukan dari Indonesia untuk membantu Haiti, pascagempa bumi melanda negara tersebut pada bulan Januari 2010.

Satu pembelajaran yang menonjol dari pengalaman ini: Negara yang rentan akan bencana perlu merencanakan dan menyertakan manajemen pengurangan risiko bencana dalam kebijakan mereka.  Perencanaan yang lebih baik dapat mengurangi kerusakan dan korban jiwa. Pencegahan jauh lebih murah dibandingkan dengan bantuan dan tanggap bencana. Secara global, diperkirakan setiap dolar yang dihabiskan untuk pencegahan akan mengurangi dampak bencana sebesar empat dolar. Ketika bencana menimpa, investasi yang dilakukan akan menjadi sangat berarti dan bermanfaat.

Warisan yang dihasilkan dari pengalaman Indonesia dalam menanggapi bencana dan penerapannya di seluruh dunia akan menjadi sangat bernilai: Lebih banyak nyawa akan terselamatkan, biaya rekonstruksi akan berkurang–dan masyarakat pun akan lebih tangguh dalam menghadapi bencana.


Api
Api

Welcome