Skip to Main Navigation
ARTIKEL14 Desember 2023

Dari Tapak ke Atas: Jaminan Hak Atas Tanah Meningkatkan Mata Pencaharian dan Mendukung Agenda Perubahan Iklim di Indonesia

The World Bank

Pak Mantoria adalah petani kopi dari Koperasi Kerinci Barokah di Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Perkebunan kopi ini berada di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat –  kawasan lindung – sehingga hak atas tanah menjadi hal yang penting. Kredit foto: Bank Dunia, 2022.

Sebanyak 2,5 miliar penduduk dunia atau sekitar satu dari tiga orang – mengandalkan lahan, sumber daya alam, dan ekosistemnya sebagai mata pencaharian mereka untuk mencapai kesejahteraan. Namun, 70 persen penduduk dunia tidak memiliki jaminan hak atas tanah mereka.

Kejelasan hak atas tanah dan penggunaan lahan  sudah lama diakui sebagai kunci pengelolaan lanskap berkelanjutan, stabilitas sosial, pertumbuhan inklusif, penyelesaian konflik, dan pelestarian lingkungan hidup. Untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan akses terhadap lahan dan sumber daya secara berkeadilan. Melalui Program Reformasi Agraria yang diluncurkan pada tahun 2015, pemerintah ingin mendistribusikan kembali 9 juta hektar lahan di Indonesia hingga tahun 2025 dengan menjamin hak atas tanah, dan mendorong praktik penggunaan lahan yang berkelanjutan.   

Bank Dunia mendukung upaya ini melalui Program Percepatan Reforma Agraria atau Program to Accelerate Agrarian Reform (the One Map) senilai $ 240 juta. Program ini menggunakan pemetaan partisipatif di tingkat desa dan pendaftaran hak atas tanah di 10 provinsi. Proyek ini bertujuan untuk mendaftarkan 7 juta bidang tanah di daerah pedesaan pada akhir tahun 2024. Pada pertengahan tahun 2023, proyek ini telah memetakan lebih dari 6,6 juta bidang tanah – lebih cepat dari jadwal.

Dulu, pengurusan dan pengurusan sertifikat tanah sangat rumit dan memakan waktu yang lama. Alhamdulillah, saya sekarang bisa mewariskan sertifikat tanah saya kepada anak-anak saya.
Fatimetou Mint Mohamed
Sentot Sunaryohadi
Petani Desa Gendro, Jawa Timur.

Melibatkan Masyarakat dalam Pendaftaran Tanah 

Konsultasi masyarakat dan pemetaan partisipatif merupakan bagian integral dalam pendaftaran tanah. Dengan dukungan dari Dana Perwalian Multi-Donor untuk Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan atau Sustainable Landscape Management Multi-donor Trust Fund (senilai $ 37 juta), Proyek Satu Peta yang lebih dikenal sebagai Program Percepatan Reforma Agraria (PPRA) telah mengembangkan dan menyempurnakan metode pemetaan partisipatif dengan memastikan inklusi kelompok rentan seperti masyarakat adat dan perempuan. Hasilnya, 50 persen bidang tanah yang dipetakan dalam proyek ini terdaftar atas nama perempuan. Perempuan juga bekerja sebagai pengumpul data pertanahan, yang mencakup 18 persen pekerja. Pelibatan masyarakat akan mendorong inklusivitas, memberdayakan para pemangku kepentingan lokal, dan meningkatkan efektivitas kegiatan pemetaan.

Keberhasilan proyek ini terlihat jelas di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, di mana sebagian besar dari 93.600 penduduknya bergantung pada pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian mereka. Antara Agustus 2022 dan Agustus 2023, lebih dari 58.000 bidang tanah telah dipetakan dan disertifikasi di 29 desa – 100 persen dari target program ini. 

“Di masa lalu, pengurusan dan pengurusan sertifikat tanah sangat rumit dan memakan waktu yang lama,” kata Sentot Sunaryohadi, 68 tahun, petani asal Desa Gendro, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. “Alhamdulillah, saya sekarang bisa mewariskan sertifikat tanah saya kepada semua anak saya.”

Sebelum adanya program reforma agraria, terdapat ketidakpastian mengenai proses pemetaan dan pendaftaran tanah, yang menyebabkan masyarakat tidak yakin akan hak kepemilikan atas tanah mereka dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat. Berkat program reforma agraria, proses ini menjadi lebih sistematis, sehingga masyarakat dapat memahami prosesnya dengan lebih baik, dan pemerintah (termasuk Kantor Pertanahan setempat) dapat mendukung masyarakat dengan lebih efektif.

The World Bank

Para Pengumpul Data Tanah di Desa Gendro, Kabupaten Pasuruan, rutin berkonsultasi dengan masyarakat desa.

Kredit foto: Bank Dunia 2023.Keberhasilan proyek ini di Kabupaten Pasuruan tidak lepas dari komunikasi dan koordinasi yang baik antara Kantor Pertanahan Pasuruan dan aparat desa setempat. Keberadaan para Pengumpul Data Pertanahan (Puldatan) – masyarakat yang berperan sebagai fasilitator terlatih di garis depan proses pendataan desa – berperan penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap program ini. Mereka memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya hak atas tanah dan mengumpulkan data untuk mendukung Kantor Pertanahan Kabupaten. Sebagai hasil dari pendekatan partisipatif dan proses membangun kepercayaan ini, komunikasi yang efektif, konstruktif, dan teratur dengan seluruh pemangku kepentingan telah terjalin dan target pemetaan lahan telah tercapai.

 

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menyiapkan brosur promosi ini untuk mendorong peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam Program Reforma Agraria. Sumber: Satuan Pengelola Proyek Satu Peta, 2023

Menjamin Hak Atas Tanah di Kawasan Hutan

Meskipun Indonesia telah mencapai kemajuan dalam menjamin hak atas tanah di kawasan pertanian, Indonesia juga menaruh perhatian pada hak di Kawasan Hutan, yang merupakan tempat tinggal bagi lebih dari 37 juta orang. Luas wilayah tersebut mencakup 63 persen total luas daratan Indonesia.

Upaya ini sejalan dengan agenda iklim Indonesia. Indonesia bermaksud untuk mencapai lebih dari 60 persen pengurangan emisinya melalui berbagai aksi di sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan Lainnya (FOLU), suatu tujuan yang tertuang dalam rencana Forest and Land Use (FOLU) Net Sink tahun 2030. Jaminan hak penggunaan atas lahan akan membantu mendukung pelaksanaan target FOLU Net Sink dengan memperkuat tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan serta memberikan dukungan keamanan dan mata pencaharian yang dibutuhkan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Hak guna lahan di kawasan hutan lebih rumit dibandingkan di kawasan lain, dan banyak penghuni hutan yang masih belum memiliki hak guna lahan yang jelas. Akan tetapi program-program inovatif menunjukkan kemajuan yang baik dalam memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan kehutanan berkelanjutan di kawasan hutan serta memperkuat pengelolaan masyarakat. Bank Dunia dan Dana Lingkungan Hidup Global (Global Environment Fund, GEF) mendukung Proyek Penguatan Perhutanan Sosial Pemerintah (senilai $ 14 juta) atau Strengthening Social Forestry Project. Proyek ini mendukung penerbitan 339 izin perhutanan sosial dan 105 Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) dengan total wilayah 61.181 hektar – hampir seluas ibu kota Indonesia, Jakarta. Namun demikian, tetap ada kendala karena rumitnya penentuan hak guna di Kawasan Hutan Negara, pemetaan atas keluasannya (yang terkadang diperdebatkan), dan rekonsiliasinya dengan tujuan pengelolaan hutan kemasyarakatan.

Pemerintah juga berupaya memperjelas tanggung jawab administratif dan batas-batas hutan; menjamin hak kepemilikan atas lahan bagi masyarakat rentan (termasuk tanah komunal dan tanah adat); dan memperkuat perencanaan tata ruang yang tangguh iklim. Untuk mendukung upaya ini, Dana Perwalian Multi-Donor untuk Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan mendukung dialog antar lembaga dan memberikan dukungan teknis dalam bentuk pembangunan kapasitas untuk prosedur pendaftaran dan pemetaan terpadu yang partisipatif. Teknik-teknik ini dibangun berdasarkan pembelajaran dari Proyek Satu Peta. Melalui upaya-upaya tersebut, para pemangku kepentingan dapat bersatu untuk menyeimbangkan berbagai permintaan dan tujuan penggunaan lahan, serta mencapai kemajuan dalam pembangunan pedesaan dan iklim di Indonesia.

Blog

    loader image

TERBARU

    loader image